NO IMAGE AVAILABLE

Jan 6, 2012

KH. Raden Asnawi Kudus

0 komentar
Makam di belakang Masjid al-Aqsa Menara Kudus itu, hampir selalu ada saja yang mengaji. Baik yang dengan tujuan untuk berziarah, maupun santri yang niat tabarrukan agar diberi kemudahan dalam mengaji.
Salah satu makam itu, tersebut lah makam KH. Raden Asnawi. Salah satu Kyai, yang masih keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 KH. Mutamakkin, salah satu Kyai yang sangat dikenal di Desa Kajen, Margoyoso, Pati.
Nama asli KH. Asnawi sebenarnya adalah Raden Ahmad Syamsi. Sementara nama “Asnawi”, disandangnya setelah menunaikan ibadah haji yang ketiga hingga wafat. Sebelumnya, beliau pernah pula memakai nama Raden Haji Ilyas, yaitu ketika baru naik Haji untuk pertama kali. Dan nama inilah yang dikenal di Mekah.
KH.R. Asnawi adalah putra pertama pasangan H. Abdullah Husnin dan R. Sarbinah, pedagang konveksi yang cukup besar di Kudus pada masanya. Beliau dilahirkan di Desa Damaran, Kudus pada tahun 1281 H (+1861 M).

Haus ilmu
KH. Raden Asnawi, adalah sosok yang sangat haus dengan ilmu, terutama ilmu-ilmu agama. Guru pertama beliau adalah orangtuanya sendiri, terutama dalam penguasaan al-Qur’an. Setelah berumur 15 tahun, baru oleh orangtuanya beliau diajak ke Tulung Agung, Jawa Timur, untuk mengaji sambil belajar berdagang. Di Tulung Agung, beliau mengaji di pesantren Tulungagung.
Selain mengaji di Tulung Agung, ia melanjutkan mengaji kepada KH. Irsyad Naib Mayong, Jepara. Ini dilakukan sebelum beliau menunaikan ibadah Haji. Setelah Haji dan menetap di Makkah, ia mengaji dengan banyak Kyai, baik Kyai yang berasal dari Indonesia KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Mahfudz (Termas), KH. Nawawi (Banten) dan Sayid Umar Shatha.
Rasa cintanya akan ilmu terutama ilmu agama, ini terbukti sepulangnya dari tanah suci (Makkah). Di mana di Kota kelahirannya, beliau mulai mangajar dan melakukan tabligh agama, betapa pun jauh jarak yang dtempuhnya.
Pada setiap Jumu’ah Pahing, sesudah shalat Jumu’ah, beliau mengajar Tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak + 18 Km dari kota Kudus, dan ini ditempuhnya dengan berjalan kaki. Beliau juga sering berkeliling dari masjid ke masjid sekitar kota saat shalat Shubuh. Kegiatan mengajar dan tabligh ini dilakukannya sejak beliau berumur 25 tahun.

Kembali ke tanah suci
Kira-kira umur 30 tahun, beliau bersama ayahnya kembali menunaikan ibadah haji. Di haji yang kedua ini, mereka berniat mukim di tanah suci Makkah. Sayang, saat melakukan ibadah haji ini, ayahnya berpulang ke rahmatullah.
Meski ayahnya meninggal, KH. Asnawi tetap mukim di Makkah selama + 20 tahun. Selama itu, ia hanya pulang beberapa kali ke Kudus untuk menjenguk ibunya dan adiknya, H. Dimyati.
Di Makkah, beliau tinggal di rumah Syekh Hamid Manan (Kudus). Namun setelah menikahi Nyai Hj. Hamdanah (janda Almaghfurlah KH. Nawawi Banten), beliau pindah ke kampung Syami’ah. Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj. Hamdanah ini, beliau dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya yang hidup hingga tua. Yaitu H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Shaleh Tayu) dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).
Meski telah menikah dan mempunya tanggungjawab sebagai kepala keluarga, beliau tidak pernah lupa memperdalam ilmu agamanya dengan para Ulama besar, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah.
Sampai akhirnya, beliau tidak hanya mengaji, tetapi juga ikut mengajar di Makkah. Baik di Masjidil Haram dan maupun di rumahnya. Diantara para Ulama (Kyai) yang pernah belajar kepada beliau adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), KH. Bisyri Samsuri (Jombang), KH. Dahlan (Pekalongan), KH. Shaleh (Tayu), KH. Chambali (Kudus), KH. Mufid (Kudus) dan KH. A. Mukhit (Sidoarjo).
Santri-santrinya tersebut, adalah para Ulama yang kemudian menjadi tokoh masyarakat, bahkan menjadi tokoh nasional. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH Bisyri Samsuri, misalnya, adalah dua tokoh yang ikut membidani kelahiran dan menjadi pengurus Nahdlatul Ulama.

Nasionalisme dan Penjara
Sebagai Kyai, Nawawi tidak sekadar akrab dengan masjid maupun majlis pengajian. Tetapi ia juga sering keluar masuk penjara, karena terlibat pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan.
Tahun 1916, beliau pulang ke Indonesia. Pada saat pulang, selain untuk meninjau kampong halamannya, juga dipergunakan menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti Sema’un, H. Agus Salim dan HOS. Cokroaminoto.
Saat pulang ke Indonesia ini, bersama kawan-kawannya beliau mendirikan Madrasah Madrasah Qudsiyyah (1916 M). Dan tidak berselang lama, ia juga memelopori pembangunan Masjid Menara secara gotong royong. Malam harim para santri bersama-sama mengambil batu dan pasir dari Kaligelis untuk dikerjakan pada siang harinya.
Di tengah-tengah melaksanakan pembangunan itulah, terjadi huru-hara pada tahun 1918. Dimana beliau dan kawan-kawannya terpaksa menghadapi tantangan kaki tangan kaum penjajah (Belanda) yang menghina Islam.
Kejadian itu adalah, di tengah-tengah umat Islam bergotong royong membangun masjid Menara siang malam, orang-orang Cina malah mengadakan pawai yang akan melewati depan Masjid Menara.
Para Ulama dan pemimpin-pemimpin Islam pun mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawai lewat depan masjid Menara, karena banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari.
Permintaan itu tidak digubris. Pawai tetap digelar. Ironisnya, dalam rentetan pawai itu, juga menampilkan adegan yang sangat menghina umat Islam. Dimana ada dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menyebutnya Cengge. Pawai Cina yang datang dari depan masjid Manara menuju selatan, itu pun berpapasan dengan santri-santri yang sedang bergotongroyong mengambil pasir dan batu dengan grobak dorong (songkro). Kedua pihak tidak ada yang mengalah. Hingga terjadi pemukulan terhadap seorang santri oleh orang Cina.
Pemukulan terhadap salah seorang santri ditambah adanya Cengge itulah, insiden Cina-Islam di Kudus yang dikenal dengan huru hara Cina, terjadi. Ejekan dan hinaan dari orang-orang Cina terus saja terjadi. Hingga orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan. Para Ulama memandang beralasan untuk mengadakan pembelaan, namun tidak sampai pada pembunuhan.
Ironisnya, dalam insiden tersebut, ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan untuk mengambil barang-barang orang Cina. Dan tanpa sengaja, menyentuh lampu gas pom yang menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.
Kejadian inilah yang berbuntut penangkapan terhadap KH. Asnawi dan rekannya KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain, dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah. Mereka pun akhirnya dimasukkan ke dalam penjara dengan masa hukuman 3 tahun.
Tidak sekali saja KH. Asnawi dipenjara. Pada zaman penjajahan Belanda, beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya tentang Islam serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam pidatonya.
Pun pada masa pendudukan Jepang. Beliau pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok beliau dikepung oleh tentara Dai Nippon. Beliau pun dibawa ke markas Kempetai di Pati.
Pada masa-masa revolusi kemerdekaan terutama menjelang agresi militer ke-1, beliau mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan do’a surat Al-Fiil. Tidak sedikit pemuda-pemuda yang tergabung dalam laskar-laskar bersenjata berdatangan meminta bekal ruhaniyah sebelum berangkat ke medan pertempuran melawan penjajah.

Peninggalan berharga
KH. R. Asnawi berpulang ke rahmatullah pada Sabtu Kliwon, 25 Jumadil Akhir 1378 H, bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M., tepatnya pukul 03.00 Wib. Beliau meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit (buyut).
Semasa hidupnya, beliau KH. Raden Asnawi telah berjasa besar bagi Islam dan bangsa Indonesia. Beliau adalah salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan terlibat dalam organisasi pergerakan kemerdekaan.
Untuk Islam, terutama di Kudus, beliau memopulerkan Shalawat yang kelak di kemudian hari dikenal dengan “Shalawat Asnawiyyah” yang masih sering dibaca dalam majlis-majlis pengajian di Kudus. Selain itu, beliau yang memprakarsasi pembangunan masjid Menara pada 1916.
Peninggalan yang tak ternilai dan semoga menjadi amal yang ikhlas bagi beliau, adalah berdirinya madrasah Qudsiyyah, yang telah melahirkan banyak tokoh masyarakat, baik Kyai, Ustadz, Doktor maupun Profesor.
Majelis pengajian umum Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan majelis Pitulasan di masjid Al-Aqsha Menara Kudus, juga merupakan salah satu warisan beliau yang masih berjalan hingga sekarang. Selain itu, pondok Pesantren Bendan peninggalan beliau, turut menjadi saksi kecintaan dan perjuangannya yang besar terhadap Islam.

Post a Comment


Mohon tinggalkan komentar anda di sini!
Mohon jangan lakukan spamming!
Terima kasih atas kerja samanya!